Vietnam adalah suram — itu yang akan saya katakan jika diminta berasosiasi bebas. Duong Thu Huong, Novel Tanpa Nama, adalah hal yang paling melekat di ingatan saya tentang Vietnam. Seperti biasa, ingatan saya yang pendek ini hanya mampu merekam kesan yang tersisa dari buku itu. Jalan ceritanya, nama tokohnya, plotnya, jangan harap saya ingat.
Yang tersisa hanya kesan tentang perjuangan berat tentara vietkong saat gerilya di hutan, penderitaan, suram dan gelap. Kesan itu ditambah dengan cerita perang Vietnam, dan Kim Phuc, foto legendaris bocah Vietnam yang terkena bom Amerika. Semua itu menimbulkan kesan suram tiap mendengar kata Vietnam.
Kenyataaan bahwa halaman Yahoo! Vietnam sungguh ceria dan warna-warni tak mampu menghapus kesan suram itu. (haha, iya saya suka buka-buka halaman market lain meski nggak tahu apa artinya) Sampai saya pergi ke sana.
Dari balik jendela taksi, Saigon nampak menyenangkan dan nyaman. Sejuta motor berseliweran dengan ngawurnya, parkir di trotoar, tapi tetap saja tak terasa sepadat Jakarta. Lebih seperti Jogja dengan lebih banyak motor.
Dengan 30 dolar, kami sudah dapat kamar yang nyaman. Entah kenapa, orang Vietnam suka sekali dengan tipe bangunan kurus tinggi, sempit tapi tingginya empat, lima lantai.
Resto pho enak di pojok jalan yang buka sampai pagi. Pho asli vietnam itu jauh lebih enak dari pho yang dijual di Jakarta dan datang bersama semangkuk besar aneka sayuran, terutama daun ketumbar (yang saya nggak doyan).
Trotoar nan lega dengan taman-taman di mana-mana, Saigon nampak seperti sebuah kota yang layak dibandingkan Jakarta. Hanoi pun juga. Rasanya tak bosan-bosan berjalan di kota tuanya. Rupanya saya salah sangka mengira Vietnam adalah suram. Negeri ini cantik!
Iyaaa..
Aku seketika jatuh hati dengan Saigon 🙂