Malam 17 Maret 2004, sekitar dua ribu demonstran berkumpul di pusat kota Niš, kota terbesar kedua di Serbia. Mereka berbaris menuju Masjid Islam Aga yang terletak di pusat kota, membakarnya sambil berteriak “Bunuh, bunuh Shiptar!†Shiptar ada istilah kasar yang digunakan untuk menyebut etnis Albania yang sebagian besar adalah muslim.
Saat polisi tiba, masjid sudah terbakar. Demonstran menghadang mobil pemadam kebakaran yang berusaha menuju masjid. Api membakar sebagian besar masjid, dan menara adalah bagian yang rusak paling parah. Kerusuhan itu dipicu kekerasan yang dilakukan oleh etnis Albania di Kosovo, termasuk membakar gereja-gereja. Karena sebagian besar penduduk Albania beragama muslim, massa di Serbia melampiaskan dendamnya ke masjid, simbol agama Islam.
Sembilan tahun kemudian, masjid itu telah dibangun ulang dan menjadi satu-satunya masjid yang berfungsi di kota Niš. Masjid itu juga satu-satunya harapan saya untuk ikut salat Id saat saya merayakan lebaran di Serbia, tahun lalu.
Penduduk Serbia, yang dulunya bernama Yugoslavia, mayoritas beragama Kristen Ortodoks (84,5 persen) dan hanya 3 persen yang beragama Islam. Sedikitnya jumlah umat Islam membuat saya agak kesulitan mencari informasi mengenai penyelenggaraan shalat Id. Satu-satunya cara adalah bertanya ke pengurus Masjid Islam-Aga.
Masjid kuno yang tidak beroperasi lagi.
Di Niš, hanya ada dua masjid. Selain Islam-Aga, terdapat satu masjid yang berada dalam kompleks benteng kota sudah tidak digunakan lagi. Masjid itu sudah beralih fungsi menjadi museum dan galeri.
Kedua masjid ini sudah berusia ratusan tahun, peninggalan masa kekuasaan Ottoman. Dulu Serbia memang dijajah Ottoman selama ratusan tahun. Tapi dari sekitar 20-an masjid, hanya dua yang masih tersisa hingga kini.
Sebelum lebaran saya pergi ke masjid untuk bertanya apakah mereka akan mengadakan salat Id. Masjid yang berbentuk kotak itu nampak sepi dengan pintu tertutup. Saya membuka pintu yang tak terkunci dan masuk. Ada sebuah ruangan dengan meja, tempat melepas sepatu sebelum masuk ke ruangan masjid yang sebenarnya.
Seorang bapak nampak sedang bertafakur, kemudian dia bangkit dan menyambut kami. “Assalamualaikum,” kata saya, disambut dengan Waalaikumsalam. Tapi itu saja komunikasi kami, karena dia ternyata tidak bisa berbahasa Inggris maupun berbahasa Serbia. Dia memanggil orang lain dari dalam kantor masjid.
Bapak yang kedua, hanya bisa berbahasa Serbia. Untung saya sudah membawa teman Serbia untuk menjelaskan. Kata dia, masjid akan mengadakan shalat id pukul 8 pagi. Sebaiknya datang pukul 7 untuk bertakbir bersama, kata dia.
Sebagai orang yang biasa berlebaran sebagai mayoritas, rasanya sedih berlebaran sebagai minoritas. Saat malam lebaran, tak ada takbir, tak ada perayaan, hanya malam yang biasa-biasa saja di pusat kota.
Pukul tujuh pada hari Lebaran, saya berangkat ke masjid. Jalanan sungguh sepi, sepertinya orang-orang lain belum bangun. Sampai di masjid, sama sepinya. Saya sempat ragu. Dari luar tidak ada satu orangpun terlihat dan tidak ada suara takbir terdengar.
Namun saat saya membuka pintu, ternyata di dalam sudah ramai. Kira-kira ada 50-an orang laki-laki sudah duduk rapi dan bertakbir bersama tanpa pengeras suara. Sekitar 20-an perempuan sudah duduk juga di lantai dua. Mereka tidak memakai mukena untuk salat, hanya baju yang menutup aurat, lengkap dengan jilbab.
Pukul delapan salat Id dimulai, Para perempuan merapatkan barisan, dan benar-benar harus rapat. Lengan kanan dan kiri harus bersentuhan dengan orang lain. Saya sempat merasa risih dan mengambil sedikit jarak, tapi ibu-ibu di samping saya dengan sigap menempel kembali.
Usai salat, semua duduk mendengarkan ceramah dengan khusyuk, tak ada satupun yang pulang. Saya tak mengerti isi kotbah karena disampaikan dalam bahasa Serbia, tapi menurut teman saya intinya tentang anjuran meramaikan masjid. Setelah kotbah, jamaah perempuan saling bersalaman dan mencium pipi satu sama lain tiga kali. Kanan, kiri, kanan.
Kami para perempuan turun dan bersalaman dengan jamaah laki-laki di bawah. Meja berisi makanan kecil sudah disiapkan. Ada kurma, coklat dan biskuit. Para jamaah makan sambil mengobrol satu sama lain dan tersenyum pada saya, satu-satunya jamaah berwajah Asia. Tak sampai setengah jam, kerumunan bubar, dan masjid kembali sepi.
Saya lalu pergi sarapan ke toko roti, seperti rutinitas pagi hari warga di sini. Rasanya agak sedih juga. Tidak ada ketupat, tidak ada kue lebaran, tidak ada keluarga, tanpa keramaian dan berakhirlah lebaran saya di Serbia.
Kini saya mengerti bagaimana rasanya menjadi minoritas.
Tulisan dimuat di Yahoo News – Jum, 25 Jul 2014. Tulisan ini salah satu yang komentarnya mengharukan. Bisa dibaca di sini.
Aku belum pernah merayakan lebaran di luar Indonesia. Kadang terbersit rasa penasaran merayakan hari lebaran jauh dari Indonesia, merasakan menjadi orang minoritas (selama ini paling saat ngetrip doang, itupun gak kerasa-kerasa banget jadi minoritasnya).
Bergidik baca tulisan ini, ngebayangin kejadian saat masjid dibakar 🙁