Ditulis untuk Tempo, 17/Apr/2008 18:52:56
Sejak tahun 2004, Jemi telah mengajak Rini Budiarti untuk menikah. Ketika itu Rini enggan mengiyakan lamaran kekasihnya itu. “Setiap kali diajak menikah, saya selalu menangis karena enggan,†kenang atlit lari jarak jauh menengah andalan Indonesia itu.
Rupanya perempuan asal Gunung Kidul itu takut, pernikahan akan menghambat larinya. Ketika itu ia baru berusia 21 tahun. Masih muda dan masih ingin mencapai banyak hal. Dalam bayangannya, pernikahan akan merenggut semuanya. “Saya takut tidak bisa ngapa-ngapain lagi setelah menikah,†jelas peraih emas Pekan Olahraga Mahasiswa 2007 ini. Padahal jalannya menuju prestasi masih merentang sejauh kakinya dapat berlari.
Kultur patriarki yang kental di negara ini kadang memang masih membatasi ruang gerak perempuan, apalagi yang telah menjadi istri. Beruntung, Jemi Utiarahcman, yang kini jadi suaminya, mau mengerti profesi Rini. “Silahkan berlari sampai kamu tak sanggup lagi,†ujar Rini menirukan suaminya.
Bukan sebentar waktu yang dihabiskan untuk meyakinkan sarjana ilmu politik ini. Butuh tiga tahun bagi Jemi untuk membuktikan pada Rini bahwa ia dapat memegang janji untuk membiarkan Rini terus berlari. Ajakan pernikahan itu baru disetujui Rini awal 2007. Takut pujaannya berubah pikiran, Jemi meminta upacara pernikahan dilaksanakan segera, tepatnya pada 29 April 2007.
“Kak Jemi berhasil meyakinkan saya,†kata penggemar nasi goreng ini dengan mata berbinar. Pasangan ini telah membuat komitmen untuk tidak saling mengekang. Masing-masing diizinkan untuk menggali potensi secara maksimal untuk mengaktualisasikan dirinya. Aktualisasi diri, menurut Abraham Maslow, adalah puncak dari kebutuhan manusia. Dengan mengaktualisasikan diri, manusia dapat mencapai performa maksimalnya.
Benarlah, setelah menikah prestasi Rini justru meningkat. Dua perak Sea Games Thailand 2007 disabetnya. Rekor nasional dipecahkannya dengan catatan waktu 4 menit 18 detik. Dengan yakin pelari 1.500 meter ini menjelaskan bahwa perasaannya menjadi tenang setelah menikah. Pikirannya tidak terganggu dilema antara mengiyakan atau menolak lamaran Jemi. Fokusnya hanya satu: meraih medali.
Suaminya yang mantan atlet atletik ini juga menjadi semacam konsultan bagi latihan perempuan yang kini menjadi atlet wakil Kalimantan Timur ini. Jemi kerap berdiskusi dengan pelatih fisik Rini, Robert Ballard, mengenai sistem latihannya. Keberadaan suaminya sebagai tempat berbagi pikiran juga dirasakan Rini sebagai sebuah kemewahan yang terlambat datang. “Saya jadi menyesal dulu tidak mau diajak menikah cepat-cepat,†katanya sambil tergelak.
Rini menilai dirinya sebagai sosok yang selalu membutuhkan dorongan dari orang-orang terdekat. Ia mengaku butuh untuk selalu dikuatkan, terutama pada saat ia tengah merasa kurang percaya diri. “Menikah membuat saya punya tempat bersandar,†katanya pada Tempo dengan ceria.
Pasangan yang akan merayakan perayaan tahun pertama pernikahan ini tinggal terpisah. Rini tinggal di Hotel Atlet Century, sedang suaminya tinggal di rumah orang tuanya. Rumah mereka di Tanjung Barat, Jakarta, dibiarkan kosong.
Pelari yang mulai berlatih sejak kelas 5 SD ini tak sempat mencicipi kehidupan rumah tangga seperti orang-orang pada umumnya. Kadang ia merasa kasihan juga pada suaminya. “Kasihan, tidak ada yang ngurusin,†jelasnya. Maka saat libur ia menyempatkan diri untuk belajar memasak makanan kesukaan suaminya, ikan sajela, makanan khas Gorontalo.
Keharusan Rini untuk berlatih di Pelatnas membuatnya tak bisa pulang kerumah sesuka hati. Mereka hanya dapat berkumpul setiap akhir minggu. “Itu resiko yang harus saya tanggung,†ujarnya mantap.
Hari-harinya dihabiskan untuk latihan. Pagi dan sore. Rekor nasional terakhir lari 1500 meter dipegangnya dengan catatan waktu 4 menit 18 detik. Ia masih harus meraih waktu lebih cepat lagi.
Targetnya adalah berlaga di Olimpiade Beijing 2008. Ia ingin menghiasi sejarah hidupnya sebagai seorang pelari dengan medali pesta olahraga paling bergengsi sedunia itu. Setelah itu ia berencana istirahat.
“Setelah Olimpiade, saya akan mendahulukan program membuat anak,†katanya malu-malu. Rupanya kebebasan yang dimiliki tidak menghilangkan naluri keibuannya. Ia memimpikan untuk meramaikan rumahnya dengan tangis bayi.
Jika harus memilih antara atletik dan menjadi ibu, ia tetap memilih tugas agung perempuan, mengantarkan seorang anak ke dunia. “Itu sudah kodrat saya menjadi ibu,’ tegasnya. Namun setelah melahirkan ia ingin tetap berada di dunia atletik. Atletik sudah menjadi bagian dari hidupnya yang tak mungkin lagi dilupakan.
“Tapi nanti anak saya jangan jadi atlit lari. Kasihan, capek,†katanya sambil tertawa.
[Famega Syavira]