Surat cintaku yang pertama

Suatu pagi, anak kelas sebelah memberikan sepucuk kertas. Kertas warna pink bergaris-garis, tanpa amplop. “Dari Beni,” kata anak itu.

Beni, adalah adik kelasku. Dia sepertinya bilang ke semua orang bahwa dia suka padaku. Setiap lewat depan kelasnya, teman-temannya akan bersorak-sorak dan memanggil namaku. “Mega, dicari Beniiii.” Lalu aku akan lewat dengan langkah panjang, berusaha tak melihat ke arah mereka. Tapi ujung mataku melirik, ke arah Beni, dan kesal sekali melihat dia tersenyum-senyum di tengah teman-temannya.

Puncaknya, waktu aku pulang sekolah, Beni dan teman-temannya mengikutiku. Waktu aku berjalan cepat, mereka ikut cepat. Akhirnya aku berlari, dan mereka ikut berlari. Aku lari, sampai dekat gang gereja. Rumah yang berjarak 300 meter dari sekolah terasa sangat jauh. Di situ ada pintu rumah orang terbuka, dan hup, aku masuk saja dan bersembunyi di balik pintu.

Aku masih ingat rasa tegang waktu Beni dan kawannnya kebingungan mencariku di depan rumah itu. Setelah mereka pergi, aku melanjutkan lari, dalam panas terik, pulang ke rumah lalu bersembunyi.

Surat itu? Aku membuangnya begitu saja ke tempat sampah tanpa membacanya. Aku, si anak kelas 5 SD, merasa tak merasa butuh membaca surat cinta dari anak kelas 3 SD.

Surat cintaku yang pertama, tak membuat hatiku berbunga, apalagi memunculkan melodi yang indah. Malah trauma.

5 thoughts on “Surat cintaku yang pertama

  1. saat kelas 5 sd, kebanyakan perempuan adalah tipe kk kelas yg menganggap remeh berondong. padahal 17 tahun kemudian seneng dong ya ama brondong. :)))

Leave a Reply to arya Cancel reply

Your email address will not be published.