Agustina “Boy” Bawelle

Ditulis untuk Tempo, 28/Mar/2008 11:30:49

Agustina Bawelle
“Lapangan adalah pacar pertamaku.”

Lima tahun lalu Agustina Bawelle pergi meninggalkan Tahuna, kota kelahirannya. Ia pergi jauh menyeberangi lautan untuk mengejar cita-citanya sebagai atlet atletik. Tahuna adalah kota kecil di Kepulauan Sangihe Talaud, jauh di ujung utara Indonesia. Gadis 12 tahun itu harus hidup sendiri, terpisah dengan keluarganya sejauh setengah hari perjalanan laut.

Agustina Bawelle, adalah atlit junior lari 100m gawang. Bintang baru atletik ini biasa dipanggil Boy oleh teman-temannya sesama atlit. “Karena saya tomboy,” katanya sambil tertawa. Ia memang bergaya tomboy dengan rambutnya yang dipotong dengan gaya laki-laki.

Sejak Sekolah Menengah Pertama ia telah dibina di Pusat Pembinaan dan Latihan Pelajar, Manado. Prestasinya di kejuaraan atletik daerah rupanya membuat banyak mata meliriknya.

Tak terkecuali pelatih sprinter nasional Ludmilla Kondratyeva yang menemukan bakat Boysaat mengadakan pencarian bakat di Manado dan Minahasa. Pelatih asal Rusia itu meminta Boy untuk segera mengikuti Pelatnas. Maka terbanglah gadis kelahiran 7 Agustus 1991 itu ke Jakarta.

Sejak kecil ia memang menggemari atletik. Ia betah berjam-jam mengamati televisi yang menayangkan para altit atletik berlari. Sampai suatu saat ia memutuskan untuk menjadi atlet atletik. Untungnya sang ayah, Rasmus Bawelle, mendukungnya. Asal, anak pertama dari dua bersaudara itu mau berlatih keras.

Pak Rasmus sebenarnya mengarahkan Boy untuk menjadi atlet karate. Sang ayah yang pemegang dua ban hitam sejak kecil telah menempa gadis kelas 2 SMA ini dengan latihan karate yang ketat. Ia mengaku bahwa mental dan kedisiplinan seorang atlet mulai dikenalnya berkat karate. Jadilah Boy penyandang ban hitam, sebelum serius menekuni atletik.

Niatnya menjadi atlet profesional makin meningkat saat menyaksikan Dedeh Irawaty, atlit atletik penyabet emas SEA GAMES 2007. Waktu itu, ia hanya menyaksikan Dedeh melalui layar kaca. “Kak Dedeh adalah idola saya”, ujar gadis penggemar film Titanic ini.

Bagi anak pertama dari dua bersaudara ini, mengidolakan seseorang tidak berhenti sampai mengagumi saja. “Saya harus menjadi seperti dia, atau bahkan melebihi prestasi Kak Dedeh,” tekadnya. Atlet bertubuh jangkung ini berniat mengalahkan rekor lari sang idola saat masih dalam kompetisi junior. Kini rekor larinya 15.06 detik, terpaut tipis dari targetnya, 15.00′.

“Saya bangga bisa berlari bersama atlit idola saya, tapi saya akan lebih bangga jika saya melaju lebih cepat lagi” sambung Boy berapi-api.

Semangat dan tekad yang kuat memang sangat terasa ketika Tempo berbincang dengan Agustina di Stadion Madya, Senayan. Ia selalu optimis saat ditanya mengenai targetnya sebagai seorang atlit. “Saya ingin dapat emas di Olimpiade”, katanya tegas. “Saya yakin saya pasti bisa.”

“Menurutku mental adalah hal yang paling penting”, ujarnya bersemangat. Menurutnya percuma hebat secara fisik tapi mentalnya lemah. “Nanti mudah ditakut-takuti lawan. Saya yang harusnya menakuti lawan”, jelasnya sambil tertawa. Gadis yang tinggal di kamar no 13 ini mengaku hanya takut pada Tuhan.

Hantu dan setan pun dilibas oleh gadis yang dipanggil dengan nama Veronika oleh keluarganya ini. Sejak kecil Boy punya kelebihan dapat melihat hal-hal gaib disekitarnya. Lama-lama ia pun terbiasa. Jadilah ia dianggap pemberani oleh kawan-kawannya. “Malam-malam kamar saya penuh, teman-teman sering beramai-ramai menginap disini karena takut tidur di kamar,” ujarnya sambil tergelak.

Bersama kawan-kawan asramanya pula ia pergi berjalan-jalan setiap sabtu dan minggu. Jadwal pelatihan yang ketat memaksanya untuk latihan setiap hari, kecuali pada akhir pekan. Ia berlatih dua kali sehari. Latihan pertama jam 04.30 sampai jam 07.00. Anak pertama dalam keluarganya ini lalu pergi ke sekolah ke SMU Ragunan sampai sekitar jam 13.30. Sepulang sekolah ia berlatih lagi hingga pukul 17.00. Sisa hari itu dipakainya beristirahat dan mengerjakan pekerjaan rumah.

Tempat liburan favoritnya adalah mol-mol yang ada di sekitar asramanya. Ia bisa menghabiskan waktu seharian untuk berbelanja dan menonton film, seperti layaknya remaja pada usianya. Jangan salah, meski tomboy Boy juga sempat menitikkan air mata saat menyaksikan kisah Aisha dan Fadli dalam film ayat-ayat cinta.

Namun saat gadis remaja lainnya sibuk pacaran, tidak begitu dengan Boy. Dengan malu-malu ia menjelaskan bahwa saat ini ia tidak ingin pacaran. “Prestasi jadi prioritas nomor satu,” tekadnya. Ia ingin berkonsentrasi penuh pada pertandingan dan latihan. “Untuk mendapat emas saya butuh konsentrasi dan fokus”, lanjut penggemar Durian ini.

“Saya ingin membanggakan negara,” tutur penyuka nasi goreng ini. Ia ketagihan dengan perasaan bangga dan terharu saat melihat bendera merah putih terkibar di udara karena kemenangannya. “Semua rasa lelah dan kerja keras terbayarkan sudah.”

Diam-diam penyabet emas di kejuaraan atletik junior Jogjakarta ini ingin jadi tentara. Impiannya, berkalung medali sambil memanggul bedil. Saat diminta memilih, ia tetap berkeras menginginkan keduanya. Sukses di lapangan, juga sukses berkarir sebagai angkatan bersenjata. “Lapangan adalah pacar pertama saya, sedangkan jadi tentara adalah cita-cita saya”, terang gadis dengan berat 52 kg ini mantap.

Nama lengkap: Agustina Bawelle
Nama panggilan: Boy
Tempat lahir: Tahuna, Pulau Sangihe, Sulawesi Utara
Tanggal lahir: 7 Agustus 1991
Agama: Kristen
Nama ayah: Rasmus Bawelle
Nama ibu: Dinje Pudihang
Sekolah: SMA Atlit Ragunan kelas 2

[Famega Syavira]

Leave a Reply

Your email address will not be published.