Menjaga museum, menjaga sejarah

Salah satu koleksi.

Hal pertama yang dikatakan Syahrial Djalil waktu menemui kami di gazebo tengah kebunnya adalah: “Pokoknya saya nggak rela kalau museum ini jatuh ke tangan pemerintah,” kata Syahrial yang berusia 71 tahun itu.

Syahrial adalah pemilik Museum di Tengah Kebun, museum pribadi tercantik yang saya pernah lihat. Kecantikan museum ini bukan cuma terlihat dari koleksinya, tapi juga taman luas yang mengelilinginya.
Museum itu juga merupakan rumah pribadi Syahrial sendiri. Semua bendanya masih bisa dipakai, dengan semua barang berlabel antara abad 19 hingga sebelum masehi. Seluruh isi rumah ini adalah benda kuno. Pintunya dari penjara di Bukit Duri, batu batanya dari gedung belanda yang dirobohkan, tunggul pohon berasal dari fosil pohon, bahkan sofa yang nampak modern sebenarnya sofa abad 18 yang diberi jok baru.

Hampir semua peradaban besar dunia punya wakil di museum Syahrial. Aneka patung Buddha, arca, benda makan, topeng mumi, pedang Ottoman hingga peralatan makan Napoleon. 4000 koleksinya dikumpulkan sejak 30 tahun yang lalu, sebagian besar dibeli dari rumah lelang semacam Christie. (favoritku? aneka wajah Buddha dari puluhan patung Buddha!)

Lajang, tanpa anak dan istri, wajar kalau Syahrial khawatir mengenai nasib museum jika kelak dia kelak meninggal. Museum itu berisi koleksi yang tak ternilai harganya (ini sungguh bukan kiasan, bukan).

Lalu apa yang akan dia lakukan? Syahrial menyiapkannya dengan baik. Dia membentuk yayasan untuk memastikan museum tidak jatuh ke tangan pemerintah, seperti yang sangat dia takutkan. Yayasan itu dia serahkan pada sekelompok orang yang dia percayai. Nama-nama terkenal ada di dalamnya (misalnya, Faisal Basri, Syafii Maarif).

Syahrial juga memastikan bahwa museum tetap terawat dan bisa diakses dengan gratis. Memelihara benda-benda kuno dan taman super cantik itu tentu butuh biaya besar sekali. “Butuh Rp 50 juta sebulan,” kata dia. Belum lagi Pajak Bumi dan Bangunan, sekitar Rp 40 juta setahun.

Untuk membayar semua biaya itu, Syahrial sudah menyediakan uang di rekeningnya di sebuah bank luar negeri. “Saya sudah atur agar museum tetap bisa buka hingga 15 tahun setalah saya tak ada, bahkan jika yayasan tak melakukan apapun,” kata dia.

Rumah dan seluruh isinya dia hibahkan, agar lebih banyak orang bisa mengakses koleksi museum dan belajar dari sejarah umat manusia. Untuk dirinya, dia membeli sebuah apartemen yang luasnya sekitar 80 meter persegi. “Padahal kamar mandi saya di rumah ini saja luasnya 110 meter,” kata dia sambil tertawa.

Sore itu kami mengobrol berjam-jam di gazebo rumahnya yang sempurna, dan saya merasa sedih mengetahui betapa langkanya kolektor semacam Syahrial. Sendirian, dia menjaga museumnya bahkan sampai bertahun-tahun setelah dia mati. (dan sedih membayangkan betapa banyaknya benda kuno yang tersimpan di rumah para kolektor tanpa bisa dilihat oleh publik. Tapi itu tentu jauh lebih baik daripada yang dihancurkan, seperti Buddha Bamiyan di Afghanistan, atau beberapa kompleks candi di Indonesia).

Nah, kamu juga harus ke sana dan bertemu Syahrial sendiri. Harus janjian ya! http://museumditengahkebun.org

4 thoughts on “Menjaga museum, menjaga sejarah

  1. Wah saya belum pernah ke situ. Harus ini.
    Sjahrial Djalil memang sdh lama ngoleksi arca, sejak dia mimpin biro iklan. Konon ada arca yang susah digeser saking beratnya. 🙂

    1. Harus ke sana paman. Ada satu arca yang dulu dijadikan jembatan sama penduduk desa sebelum ditemukan sama Sjahrial.

  2. Pak Djalil

    Dimana saya bisa hubungi langsung Pak Djalil, saya kawan lama nya, tapi sekarang sudah menetap di Luar negeri, mohon no telpon pak Djalil yang bisa saya hubungi”Terima kasih

    Anton

  3. Saya pernah jadi pembantu rumah tangga pak syahrial jalil tahun 1998 bersama Samingun dan mas tomi,, mas tomi nama aslinya mistam… Pak jalil yg memberi nama tomi… Pak herman waktu itu sopir pribadinya,, saya di situ kerja 5 bulan salam buat pak jalil

Leave a Reply

Your email address will not be published.